Sunday, November 4, 2012

Pilih Sekolah, Bukan Cap Cip Cup!

Kalo ada yang nanya, "Masa apa yang paling kamu kangenin?" Gw bakal jawab, "Masa SMP!" Terus mungkin yang nanya bakal bilang lagi dalam hati, "Kok bukan SMA sih (-__-)"
Tapi jujur, itu kenyataan kok. Saatnya mendongeng :)

Dulu, setelah gw lulus SD dengan nilai yang membanggakan (kenapa membanggakan? Karena gw gak nyontek. Sumpah!). Pokoknya berasa jadi anak paling gaul sedunia. SMP apa itu, jawaban nya adalah SMPN 8 Bandung. Singkat cerita soal profil SMP ini, urutan nya ada di cluster 1 peringkat ke - 3 se kota Bandung. Ada yang masih inget ga ya soal cluster-cluster-an ini? Hehehe.. Meskipun letaknya di belakang Pasar Ujungberung yang pada saat itu kata anak-anak seumuran lulusan SD dibilang SMP Pasar (-__-") tapi gw gak peduli, karena apa yang telah tertanam di pikiran gw saat itu kurang lebih seperti ini:
Cluster 1 peringkat 3 = anak-anak yang sekolah di situ pinter, guru yang ngajar pasti bagus. Pasar? Anggep aja kurang beruntung secara geografis.
Orang tua gw pun ngedukung setengah mati pada saat itu. Meskipun memang, gw masih bisa masuk ke SMP yang ada di peringkat 2 alias SMPN 2 Bandung. Sempat juga sih adu mulut dengan mama: "Mah, kenapa gak boleh ke SMP 2 sih? Itu kan lebih bagus dari 8!". Lalu mama menangkis (halah) "Bagusan 8, liat aja slogan nya, TOP GRADE!". Bingung udah pasti, gw cuma pasrah sambil memelas, "Mama aneh! T.T". Sampai akhirnya mama membela diri dengan perkataan yang bisa membuat gw menelan ludah berkali-kali, "SMP 8 itu deket, Kak. Kalo naik angkot cuma bayar 500. Bersyukur masuk 8 juga alhamdulilah!".

Kalau dipikir-pikir lagi, mama memang gak salah. Mama dengan pandangan sebagai seorang ibu pasti berpikir seperti ini: anak masih kecil, jangan sekolah terlalu jauh nanti yang ada capek di jalan, lebih gawat lagi kalau jadi sering sakit. Ongkos pun lebih mahal, SMPN 8 memang pilihan ideal, kualitas tidak jauh beda, super dekat pula. Nyerah deh. Hal itu pun terbukti setelah gw menjalani kegiatan belajar mengajar di sana. Gw yang saat itu belum dewasa bisa menilai, guru-guru di sana sungguh berkualitas! Kompetisi di sana bukan sekedar berebut peringkat 10 besar, tapi juga berebut kursi di kelas unggulan. Alhamdulilah gw selalu masuk kelas unggulan dari kelas 1 sampai 3 (cieeee...) Gw juga terbilang aktif di kegiatan ekstra kurikuler dan OSIS. Masa SMP saat itu sangat gemilang deh!





Sayangnya, sang adik tak bisa mengikuti prestasi sang kakak. Sering gw liat setiap tahun ajaran baru, dia seperti kurang bergairah (atau bahkan tidak sama sekali) untuk memilih sekolah favoritnya. Jangankan berambisi, bergairah saja tidak. Bahkan dia pernah bilang, "Adek ga pinter, Kak. Kakak sih enak bisa milih sekolah yang bagus, soalnya pinter. Adek sih seadanya aja, takdir di tangan Allah". Betapa pasrah, frustasi (atau lebih tepat dibilang males?) dan ga ada semangat sekolah sama sekali, kan? Alhasil, selama ini mama lah yang menentukan di mana adik gw tercinta akan bersekolah. Masih inget sama azas mama?


 Sekolah dekat = sekolah idaman ibunda
Bisa dibayangkan apa jadinya? Betul, dari SD hingga SMP sang adik kehilangan semangat belajar karena terbiasa dengan nilai kecilnya, dan terbiasa oleh SAD (Sekolah Asal Dekat). Mau berkualitas, mau tidak, yang penting dekat dan yang penting masih sekolah negri. Bukan nya menyalahkan sekolah di urutan cluster bawah itu tidak menjanjikan, tapi kenyataan begitu pahit sampai-sampai gw harus membenarkan hal ini. Pergaulan sesama pelajar sering tidak sehat, karena yang masuk ke sekolah tersebut kalau bukan anak nakal, ya anak yang belum pintar. Ditambah guru (yang selama ini gw tangkap dari cerita-cerita adik) kurang aktif menerapkan KBM menjadi menyenangkan, menggali ilmu, atau menggunakan metode lain sesuai standar, bahkan sering nya di bawah standar. Lalu muncul pertanyaan, mengapa sistem cluster harus diadakan?

Sepertinya, jika sistem cluster ditiadakan, semua anak bisa mengenyam kualitas yang rata. Atau jika memang sistem cluster itu perlu, kualitas guru, cara mengajar, kepribadian guru dan kurikulum harus disama-ratakan (padahal memang banyak yang sudah diwajibkan sama, penerapan nya belum). Jadi nanti tidak ada seperti ini:

Yang pintar semakin pintar, yang belum pintar semakin malas untuk jadi pintar.
Jika fenomena ini terus berlanjut, ayo dong orang tua yang lain ikut semangat juga memilih sekolah yang tepat! Jika anak belum bisa mengerti apa yang mereka inginkan, bimbinglah! Karena pendidikan semakin krisis, padahal tekhnologi semakin maju dan berkembang. Jika menginginkan yang terbaik, ambil lah keputusan terbaik untuk semua aspek. Karena sekolah bukan hanya soal waktu dan biaya, tapi juga menentukan psikologis anak dan kematangan ilmu untuk bekal di masa mendatang. Gw ngerti mama pun mengerti akan hal ini, tapi entahlah... yang gak bisa dimengerti itu adek gw (-__-").

Terimakasih sudah membaca ^.^